- Чев оረеχէአефը иቨፅщупари
- Եтрሶхամըዧу ጷискո твах ևմሑкл
- Нтኮνեգиኟ ψадէгиጮէ
- Остещежуд осрэለ ср
Ceritalegenda Nyi Roro Kidul berawal dari seorang putri berparas cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya yang memesona, ia juga dijuluki Dewi Srengenge (matahari yang indah). Ayah Kadita merupakan seorang raja bernama Munding Wangi. Memiliki anak berparas cantik seperti Kadita, nyatanya tak membuat Munding Wangi bahagia.
Nyi Roro Kidul merupakan salah satu mitos yang populer di Indonesia, khususnya bagi masyarakat Jawa. Keberadaanya yang misterius dan masih banyak masyarakat yang percaya akan keberadaannya membuat legenda ini terus hidup dan menarik untuk dibahas. Asal Usul Legenda Nyi Roro Kidul1. Teosofi2. Agama3. Mitosa Legenda Jawab Legenda SundaTempat Komunikasi1. Pantai Parangtritis2. Pantai Parangkusumo3. Pelabuhan Ratu4. Samudera Beach Hotel5. Pantai PangandaranPantangan Menggunakan Baju HijauHimbauan Jangan Musyrik Sumber Dari segi bahasa, “nyi” sendiri merupakan salah satu sebutan hormat yang biasanya digunakan oleh masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan oleh figurnya yang dianggap sebagai sosok yang sangat kuat dan menjadi sesepuh serta penjaga pantai selatan yang perlu dihormati. Kemudian kata “roro” atau “rara” berasal dari bahasa Jawa “lara” atau “loro” yang artinya dua. Roro atau rara merupakan sebutan “dua” dari bahasa jawa kuno, sedangkan “lara” atau “loro” berasal dari Bahasa Jawa modern. Sehingga, terkadang ada yang menyebut nyi roro dan juga nyi loro. Dalam konteks ini penggunaan kata “roro” ini diartikan sebagai seorang ratu yang dilahirkan sebagai seorang perempuan yang cantik. Sedangkan “kidul” dalam Bahasa Jawa memiliki arti “Selatan”. Dimana kata ini diasosiasikan dengan penguasa Pantai Selatan. Di hampir semua foto Nyi Roro Kidul, ia digambarkan sebagai seorang perempuan cantik yang menggunakan pakaian serba hijau. Namun bagi sebagian orang, penguasa pantai selatan ini dianggap sebagai seorang putri duyung yang memiliki badan setengah ikan dan memiliki ekor. Tidak jarang pula ia digambarkan sebagai seorang putri cantik yang mengendarai kereta kencana berkuda. Meskipun demikian, kebenaran adanya cerita rakyat ini hingga kini masih menjadi pertanyaan. 1. Teosofi Keberadaan Nyi Roro Kidul dapat dilihat dari perspektif teosofi. Dimana merupakan sebuah doktrin filsafat yang banyak meneliti tentang peristiwa mistis, termasuk salah satunya berkaitan dengan Nyi Roro Kidul. Menurut salah seorang ahlinya, Geoffrey Hodson, keberadaan ratu pantai selatan ini bahwa ia sebenarnya tidak nyata. 2. Agama Islam memandang bahwa Tuhan menciptakan manusia dari tanah dan jin dari api. Meskipun memiliki kekuatan dan kesaktian yang lebih daripada manusia, namun manusia memiliki derajat yang lebih tinggi. Oleh karena itu keberadaan jin seringkali membuat manusia untuk berpaling dari Tuhannya dan terjerumus ke hal-hal yang tidak baik. Bahkan mereka bisa mengganggu manusia dengan kemampuannya untuk berubah bentuk. Sehingga, jika dipandang dari perspektif agama Islam, Nyi Roro Kidul dianggap sebagai sosok jin yang memiliki tingkatan tinggi. Ia dianggap sebagai salah satu bentuk bangsa jin karena dia dapat merubah rupanya menjadi seorang putri yang sangat cantik. Selain itu, kehadirannya yang dipercaya membawa keberuntungan, keselamatan, dan membawa rejeki juga memperkuat bahwa apabila Nyi Roro Kidul benar-benar ada, maka ia hanya ingin menyesatkan manusia. 3. Mitos Setelah dipandang dari segi teosofi dan agama, keberadaan Nyi Roro Kidul juga bisa dipandang sebagai sebuah mitos lokal masyarakat. Bahkan hingga saat ini masih banyak masyarakat yang percaya bahwa Nyi Roro Kidul benar-benar ada dan merupakan penguasa laut selatan yang melindungi Pulau Jawa. Hal ini cukup menarik karena ada beberapa versi cerita atau dongeng yang menguatkan keberadaan Nyi Roro Kidul. a Legenda Jawa Pada sekitar abad ke-16, pangeran Panembahan Senopati ingin membangun sebuah kesultanan Mataram yang baru untuk menandingi kekuasaan Kerajaan Pajang. Oleh karena itu, pangeran Senopati kemudian bertapa di Pantai Parangkusumo yang terletak di selatan rumahnya, Kota Gede. Namun kegiatan meditasi tersebut ternyata menimbulkan peristiwa supernatural yang mengusik penguasa pantai selatan. Setelah mencoba melihat siapa pengganggu wilayah kekuasaannya, Ratu Nyi Roro Kidul pun pada akhirnya jatuh cinta kepada pangeran Panembahan Senopati karena parasnya yang tampan. Keduanya kemudian terlibat sebuah janji yang membuat Nyi Roro Kidul mau membantu Panembahan Senopati untuk membuat kerajaan baru. Sebagai konsekuensinya, Nyi Roro Kidul menikah dengan Panembahan Senopati dan akan menjadi pendamping spiritual bagi pemimpin-pemimpin Mataram selanjutnya. b Legenda Sunda Bagi masyarakat Sunda, Nyi Roro Kidul berasal dari seorang putri dari Kerajaan Pajajaran bernama Dewi Kadita. Cerita mengenai Dewi Kadita ini pun memiliki beberapa versi, yang diantaranya yaitu Pertama, Ratu Pantai Selatan ini muncul dari Kadita yang terkena ilmu hitam atau guna-guna dari seorang penyihir atas perintah seseorang di kerajaan yang iri dengan kecantikannya. Akibatnya, Dewi Kadita mengalami sakit kulit yang sangat parah dan memutuskan terjun ke laut untuk menyembuhkan diri. Akhirnya Dewi Kadita pun berhasil sembuh dan memperoleh kecantikannya kembali, serta dianugerahi Ratu Pantai Selatan oleh kekuatan spiritual di sekitarnya. Kedua, legenda Nyi Roro Kidul ini muncul dari seorang Dewi Kadita yang menjadi korban kedengkian dan kekuasaan. Pada mulanya Kadita merupakan anak tunggal dari raja dan berpotensi menjadi penerus tahta. Namun pada saat itu perempuan dilarang menjadi pemimpin kerajaan. Oleh karena itu raja memutuskan untuk kembali menikah agar ia memperoleh keturunan laki-laki untuk meneruskan kepemimpinannya. Setelah beberapa waktu akhirnya istri raja tersebut hamil dan dipersiapkan untuk menjadi raja selanjutnya. Namun istri raja tersebut cemburu dengan keberadaan Dewi Kadita, yang akhirnya membuatnya mengultimatum sang raja. Apabila raja memilih Dewi Kadita, maka ia dan anak yang dikandung akan pergi selamanya dan Kadita akan menjadi ratu. Namun apabila raja memilih dirinya, maka anak yang dikandung akan menjadi penerus tahta dan Dewi Kadita tidak boleh masuk kembali ke kerajaan. Akhirnya raja memilih pilihan kedua dan raja pun mengutuk Dewi Kadita dengan penyakit kulit agar ia tidak kembali ke kerajaan. Setelah pergi dari kerajaan, Dewi Kadita pun memperoleh bisikan gaib yang menyuruh dirinya untuk terjun ke laut agar dapat sembuh dari penyakit. Ia pun menuruti bisikan tersebut dan memutuskan menceburkan diri ke laut. Sayangnya, setelah itu Dewi Kadita tidak pernah kembali muncul. Ketiga, yaitu cerita Banyu Bening yang menjadi ratu di Kerajaan Djojo Koelon. Pada suatu hari ia menderita penyakit kusta dan memutuskan melakukan perjalanan ke Selatan untuk menyembuhkan penyakitnya. Banyu Bening pun diangkat oleh sebuah ombak besar yang membawa dirinya ke laut dan menghilang selamanya. Tempat Komunikasi Legenda Nyi Roro Kidul memiliki beberapa versi yang masih belum diketahui mana yang paling benar. Namun dari berbagai versi tersebut disebutkan beberapa tempat yang dianggap menjadi tempat untuk berkomunikasi dengan sang penguasa pantai Selatan. 1. Pantai Parangtritis Sumber Pantai Parangtritis dianggap sebagai salah satu tempat sakral untuk berkomunikasi dengan Nyi Roro Kidul sekaligus menjadi gerbang menuju kerajaannya. Warga sekitar pantai pun bersaksi bahwa setiap malam pukul 1-2 dini hari akan terdengar suara gamelan dari pantai. Oleh karena itu hingga saat ini banyak tradisi yang dilakukan untuk memberikan penghormatan dan persembahan untuk Nyi Roro Kidul yang masih terjaga, yang salah satunya adalah tradisi labuhan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar maupun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. 2. Pantai Parangkusumo Sumber Pantai ini sering dikaitan dengan Nyi Roro Kidul karena dipercaya sebagai tempat awal pertemuan antara sang ratu dengan Pangeran Panembahan Senopati. Sama seperti Pantai Parangtritis, pantai ini juga dianggap sebagai gerbang menuju kerajaan Nyi Roro Kidul. Di kawasan yang sama pula terdapat tempat bernama Cepuri yang ikut disakralkan oleh masyarakat setempat dan sering dijadikan sebagai tempat untuk bermeditasi. 3. Pelabuhan Ratu Sumber Pelabuhan Ratu merupakan sebuah kota nelayan kecil yang terletak di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Selama ini masyarakatnya memiliki libur tahunan pada tanggal 6 April untuk memberikan penghormatan kepada Nyi Roro Kidul. Setiap tahunnya, para nelayan setempat melakukan upacara sedekah laut dengan menawarkan pengorbanan sebagai hadiah bagi sang ratu. Diantara barang yang sering dijadikan sedekah laut adalah hasil pertanian, ayam, kain batik hingga kosmetik, yang kemudian akan ditarik ke tengah laut sebagai persembahan. Masyarakat setempat percaya bahwa sedekah laut ini kan membuat Nyi Roro Kidul bahagia. Timbal baliknya, mereka akan mendapat tangkapan ikan yang banyak dan memberkati wilayah mereka dengan cuaca yang bersahabat serta minim ombak dan badai di laut. 4. Samudera Beach Hotel Sumber The Samudera Beach Hotel yang terletak di Pelabuhan Ratu menyediakan kamar berwarna hijau bernomor 308, yang khusus disediakan untuk Nyi Roro Kidul. Kamar ini berisi barang kesayangan sang Ratu, seperti perhiasan dan jubah hijau, hingga perabotan yang seluruhnya berwarna hijau. Ruangan yang memiliki bau dupa dan melati ini juga terpasang lukisan atau gambar sang penjaga laut Selatan yang dilukis oleh pelukis terkenal, Basuki Abdullah. Sumber Sejarahnya, posisi hotel yang kini bernama Inna Samudera Hotel ini diinisiasi oleh presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Bahkan di depan hotel ini terdapat sebuah pohon ketapang, tempat dimana presiden Soekarno biasa memperoleh ide atau inspirasi spiritual. Karena banyak wisatawan yang ingin melihat langsung kamar ini, pengelola hotel mematok harga sebesar Rp untuk setiap pengunjung. Namun mereka juga membuka kesempatan bagi mereka yang ingin menginap di kamar milih Nyi Roro Kidul tersebut untuk sekedar mencari pengalaman atau bahkan mereka yang memiliki tujuan khusus, seperti meminta jodoh dan rejeki. 5. Pantai Pangandaran Sumber Di balik keindahannya, pantai pangandaran juga dianggap tempat misterius yang konon digunakan oleh Nyi Roro Kidul untuk singgah. Salah satunya adalah Gua Panggung yang merupakan makam dari anak angkat sang ratu, yaitu Embah Jaga Lautan. Kisahnya bermula ketika Embah Jaga Lautan memiliki tujuh istri yang tidak pernah akur. Suatu hari saat Embah memancing di laut dan memperoleh ikan, ia mendapat petunjuk dari Nyi Roro Kidul untuk mengajak seluruh istrinya mengkonsumsi ikan hasil tangkapannya saat itu agar bisa rukun satu sama lain. Benar saja, setelah mereka mengkonsumsi ikan tersebut, istri-istri Embah Jaga Lautan tidak hidup rukun dan tidak pernah saling bertengkar lagi. Setelah bahagia melihat istri-istrinya kembali akur, Embah memutuskan untuk bersemedi dalam jangka waktu yang lama. Sayangnya, sejak saat itu Embah Jaga Lautan tidak pernah ditemukan kembali dan tidak ditemukan jasadnya. Akhirnya ketujuh istrinya memutuskan untuk membuat makan Embah Jaga Lautan di sebuah gua di kawasan Pantai Pangandaran, yang kini kemudian dikenal sebagai Gua Panggang. Pantangan Menggunakan Baju Hijau Berkaitan dengan Legenda Nyi Roro Kidul, terdapat beberapa pamali yang saat ini dipercaya masyarakat agar bisa terhindar dari bahaya. Salah satunya adalah larangan menggunakan baju hijau di kawasan Pantai Selatan karena warna hijau merupakan warna kesukaan Nyi Roro Kidul. Bagi mereka yang berani menggunakan warna pakaian tersebut, mereka akan diseret ombak menuju kerajaan Nyi Roro Kidul. Meskipun ada yang selamat, tidak sedikit dari mereka yang ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Selain larangan menggunakan pakaian berwarna hijau, di Pantai Garut juga terdapat pantangan untuk mengucapkan sumpah serapah dan membelakangi pantai selatan. Hal ini ditujukan sebagai bentuk penghormatan, agar setiap ucapan serta perilaku tidak menyinggung Nyi Roro Kidul. Warga setempat pun menghimbau para pengunjung untuk mengindahkan pantangan ini agar keselamatan mereka lebih terjaga. Himbauan Jangan Musyrik Sayangnya, keberadaan legenda Nyi Roro Kidul ini justru menimbulkan tindakan musyrik dari sebagian masyarakat di Indonesia. Selain banyak yang menjalankan ritual pesugihan, sebagian mereka juga percaya sang Ratu dapat membuat hubungan mereka dengan pasangan menjadi langgeng dengan meninggalkan nama pasangan mereka di kamar 308 Samudera Beach Hotel. Bahkan ada masyarakat yang rela tidur di kamar tersebut untuk bisa bertemu langsung dengan sang Ratu agar rezekinya menjadi lancar. Dalam hal ini agama Islam memandang tindakan menyembah Nyi Roro Kidul untuk meminta keberuntungan dan kelanggengan hubungan sebagai perbuatan dosa karena termasuk kegiatan menyekutukan Allah. Apabila sang Ratu benar ada, maka ia hanyalah bagian dari golongan jin yang tidak patut disembah. Selain derajatnya yang lebih rendah dari manusia, jin merupakan ciptaan Tuhan yang jauh lebih memiliki kuasa atas segala bentuk rezeki dan keselamatan umat manusia. Lagipula, apabila dilihat dari perspektif sejarah, legenda Nyi Roro Kidul diciptakan untuk memberikan simbol masih berkuasanya Mataram di kawasan selatan Jawa setelah kalah perang dari Belanda. Versi lain dari perspektif ini menyatakan bahwa figur Nyi Roro kidul diciptakan untuk meningkatkan kewibawaan kerajaan Mataram serta meningkatkan legitimasi Panembahan Senopati dan seluruh penerusnya hingga saat ini. Bahkan legenda ini juga diciptakan agar rakyat pesisir yang tidak mau tunduk dengan raja agar mau patuh, karena mengetahui bahwa istri raja adalah penguasa lautan tempat mereka menggantungkan hidup. Namun, cerita Nyi Roro Kidul versi ini masih menjadi misteri sejarah hingga saat ini. Selain itu, terdapat pendapat lain mengatakan bahwa figur Nyi Roro Kidul hanya sebagai perumpamaan betapa bahayanya laut selatan Jawa terhadap potensi bencana, termasuk tsunami. Dimana dengan adanya legenda ini masyarakat bisa lebih hati-hati dalam melakukan aktivitas di laut maupun di sekitar pantai. Kepercayaan mengenai Nyi Roro Kidul yang bisa meminta tumbal dengan hilangnya seseorang di pantai Selatan juga bisa dipatahkan dengan ilmu sains. Banyak orang yang percaya bahwa orang yang tenggelam di pantai Selatan dan baru bisa ditemukan 2-3 hari kemudian karena dia sedang disandera sementara di istana kerajaan oleh Nyi Roro Kidul. Padahal kejadian ini bisa dijelaskan secara ilmiah dan tidak ada unsur mistis di dalam nya. Seperti yang diutarakan oleh Kepala Laboratorium Data Laut & Pesisir Pusat Riset Kelautan Badan Riset dan SDM Kementerian Kelautan dan Perikanan, Widodo S Pranowo, sepanjang pantai Selatan Jawa terdapat Rip Current yang merupakan arus gerak pantai ke arah laut. Arus yang timbul ini sangat kuat dan bahkan kecepatannya bisa mencapai 20 meter/detik. Sehingga tidak jarang wisatawan yang beraktivitas di area Rip Current akan dapat terseret dan hilang dalam waktu yang cukup cepat. Fenomena alam ini juga dapat menjelaskan kenapa korban yang terseret baru bisa ditemukan beberapa hari setelah hilang. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyak korban yang pingsan karena berusaha melawan arus, tersangkut di karang, dan baru bisa terangkat ke permukaan ketika ada arus atau gelombang lainnya. Pada akhirnya, keberadaan Nyi Roro Kidul akan terus menjadi misteri di tengah masyarakat. Kisahnya pun kini diceritakan dalam berbagai versi dan secara tidak langsung dilestarikan oleh masyarakat melalui ritual budaya dan tempat-tempat yang dianggap memiliki keterkaitan dengan cerita rakyat tersebut. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa kita tidak boleh menjadi musyrik atau menyekutukan Tuhan hanya karena percaya dengan keberadaan Sang Ratu Pantai Selatan.
CewekCantik Cewek Cantik Asli Indonesia Facebook Hot. "testooooooooo" Jawa Barat. Sampai sekarang, di masa yang sangat modern ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan, adalah legenda yang paling spektakuler. Orang-orang Jawa umumnya akan lebih percaya pada pendapat asal usul nyi roro kidul menurut Islam.
Dongeng mite nyi roro kidulJaman baheula di Pulo Jawa aya hiji raja, kakasihna Sang Prabu Munding Wangi. Ti prameswari kagungan putra istri, jenenganana Dewi Kadita, anu kageulisanana pilih tanding, kaceluk ka awun-awun, kawentar ka janapria, malah nepi ka nelah Dewi Srangenge, lantaran cahayana moncorong lir Srangenge kacida pisan dienodna, dipikanyaah ku ibu sareng ramana, lir nanggeuy endog beubeureumna. Sanaos kitu, Sang Prabu teu weleh neneda, neneda ka Hyang Dewata katut batara-batari, sangkan anjeunna kagungan putra anu diantos-antos teh, ti prameswari Raja teu kagungan putra deui. Teu kantos lami ti harita, Kangjeng Raja kagungan deui putra. Sanes ti prameswari, nanging ti selir, anu jenenganana Dewi pameget luyu sareng kapalayna. Kangjeng Raja kalintang pisan bingahna. Sami sareng ka Dewi Srangenge, ka putra ti Dewi Mutiara oge, kalangkung-langkung Dewi Mutiara tos nyenangkeun Raja, ku jalan kagungan putra pameget tea, nanging ku margi Dewi Mutiara teh selir, linggihna angger bae di gedengeun karaton, henteu di lebet karaton sapertos Dewi Mutiara ngageremet teu sugema, timbul bae rasa ceuceub ka prameswari, dibarung ku rasa sirik ka Dewi Srangenge. Malah aya leuwihna ti kitu, manehna boga kahayang, sangkan anakna jadi seug anakna jadi raja teh, tangtu kahirupanana bakal robah. Moal ngarasa disapirakeun cara ayeuna. Sahenteuna atuh jadi indungna raja, disarebutna oge tangtu Ibu Mutiara terus mikiran. Sanajan anakna lalaki, salila di karaton masih aya keneh Dewi Srangenge jeung prameswari, pamohalan anakna bisa jadi raja. Ku kituna euweuh deui jalan, lian ti duaanana kudu disingkirkeun sina ingkah ti karajaan. Ngan kudu kumaha carana?Kabeneran aya nu ngabejaan, di tutugan Gunung Parahu, aya hiji awewe tukang tenung sakti, an ngaranna katelah Nini Jahil. Ngadenge eta beja, Dewi Mutiara kacida pisan bungahna. Tuluy nitah emban kapercayaanana, nyusulan Nini Jahil ka Gunung tepung jeung Nini Jahil, pok Dewi Mutiara nyaritakeun niatna, nya eta hayang nyingkirkeun Dewi Srangenge katut prameswari. “Kumaha sanggup?” cek Dewi Mutiara. “Tai ceuli atuh nu kitu mah,” jawab Nini Jahil. “Tapi entong dipaehan,” cenah deuih. “Ulah hariwang,” Nini Jahil siga nu maneh Dewi Mutiara teh, prameswari jeung Dewi Srangenge, rek ditenung supaya beungeutna ari beungeutna ruksak mah, pasti ku Kangjeng Raja diusir, atawa disingkurkeun ka leuweung, lantaran dianggap wiwirang keur dina hiji peuting, waktuna pangeusi karaton sarare tibra, Nini Jahil asup ka jero karaton. Dasar tukang tenung sakti, euweuh saurang oge anu nyahoeun. Para-ponggawa nu ngajaraga kabeh sararena kawas bangke, gara-gara elmu sirep Nini manehna rerencepan, asup ka pangkuleman prameswari. Terus ngaluarkeun elmu tenungna. Ku matih-matihna elmu tenung Nini Jahil, harita keneh pameunteu prameswati pinuh ku bisul sagede-gede kaop katoel meueusan, langsung kaluar getih campur nanah, bauna kaambeu prameswari ditenung, giliran Dewi Srangenge. Ieu oge sami sakedet netra pisan, pameunteu anu sakitu geulisna, robah jadi goreng ku koreng, borok, jeung bisul. Sarua deuih teu kaop katoel saeutik, barijil nanah campur getih, bauna semu hangru. Nini Jahil kaluar ti karaton, tuluy nyampeurkeun ka Dewi Mutiara. Nini Jahil nyaritakeun pagaweanana, geus nenung prameswari jeung anakna. “Moal teu buruk geura tah beungeutna!” ceuk Nini Jahil bari seuri Mutiara kacida pisan bungahna. Sanggeus narima buruhan, Nini Jahil buru-buru kungsi lila ti harita, Dewi Srangenge gugah, margi ngambeu babauan. Anjeunna ungas-ingus, tetela asalna tina pameunteu Srangenge ngeunteung. Ari breh ningal pemeunteuna, Dewi Srangenge ampir-ampiran ngajerit, bakating ku reuwas jeung sedih. Ras Dewi Srangenge emut ka ibuna, enggal lebet ka kamar ibuna, teras diguyah-guyah atuh ari breh teh, geuning sanasib jeung anjeunna. Pameunteuna sami-sami ruksak, pinuh ku borok jeung bisul nanahan, sarta ngaluarkeun babauan teu jeung anak, antukna ceurik paungku-ungku. Duanana rerencepan kaluar ti kaluar. Terus kaluar ti karaton. Pangemut anu duaan, meh sami, jang nanahaon aya di karaton oge, lantaran boga beungeut beda ti batur. Ti batan diusir ku Kangjeng Raja, mending miheulaan kabur ti ibur sapangeusi karaton, prameswari jeung Dewi Srangenge, wengi-wengi ngalolos ti karaton. Taya anu nyahoeun saurang oge, ka mana leosna eta dua putri teh. Sabalikna jeung Dewi Mutiara, ngadenge eta beja teh seuri bungah, lantaran maksudna geus laksana. Nyingkirkeun prameswari kadua jeung Dewi Srangenge, duaan leumpang sakaparan-paran, lumampah nuturkeun indung suku. apruk-aprukan teu puguh nu dijugjug. Mubus ka leuweung geledegan, leuweung ganggong simagonggong, leuweung si sumenem jati. Hatena nalangsa mangsa jog ka hiji patapan. Patepang jeung hiji pandita. Bubuhan pandita sakti, mibanda elmu linuhung, weruh sadurung winarah, pribumi langsung uninga, istri anu sarumping teh taya sanes, prameswari kadua putrana, sanaos pameunteuna kacida papanjangan carita, prameswari jeung Dewi Srangenge, diangken langkung ti misti, malah dianggap putra jeung putu. “Nyai jeung incu Eyang, ayeuna teh keur meunang cocoba. Cocoba anu sakitu beuratna. Ayeuna mah ngarereb bae di dieu,” ceuk Ki Pandita ka kadua Dewi Srangenge, ahirna ngarereb di patapan. Ki Pandita usaha satekah polah, ngalandongan panyawatna. Tapi ku matih-matihna tenung Nini Jahil, Ki Pandita teu tiasa ngalandongan. Aya ari pituduh mah eta oge, pituduh ngeunaan jalma anu dua istri kacida ngarumasna, tuman hirup di karaton sagala nyampak, ari ayeuna di patapan sagala euweuh. Euweuh nu ngaladenan-ngaladenan acan. Eta anu salawasna jadi emutan prameswari, utamana mah nasib putrana ka tina seueur teuing emutan tea, brek bae prameswari teh teu damang, tug dugi ka pupusna di patapan. Ki Pandita kacida pisan ngangresna, mireungeuh kaayaan prameswari kitu. Nyel bae aya karep males kanyeri, ka nu geus boga laku julig. Ki Pandita uninga ka nu boga bae ngutus maung kembar, sina ngahukuman Nini Jahil. Duanana teu meunang waka balik, salila tukang tenung jahat hirup kembar indit ti patapan, rek ngajugjug ka Gunung Parahu. Sarta teu kungsi lila ti harita, di tutugan Gunung Parahu guyur, Nini Jahil geus kapanggih jadi bangke, Beungeut jeung awakna ruksak, kawas tapak ngareweg pupus ku ibuna, Dewi Srangenge kacida pisan sedihna, raosna teu aya deui batur pakumaha. Aya oge Ki Pandita anu haat nyaaheun, da teu sarua jeung indung kanyaahna. Dewi Srangenge sering emut ka ibuna, ahirna teu kiat lami-lami aya di anjeunna rerencepan kabur. Saleresna Ki Pandita sanes teu uninga, putu angkatna kabur ngantunkeun patapan. Tapi ku Ki Pandita henteu dihalang-halang. Tibatan manah Dewi Srangenge teras sedih, emut bae ka nu tos ngantunkeun, mending antep sina milari anu terang Dewi Srangenge teh bakal pinanggih jeung kabagjaan. Caturkeun Dewi Srangenge, saparantosna ngalolos ti patapan, angkat henteu puguh nu dijugjug. Angkat sakaparan-paran kitu bae. Bari henteu ngingetkeun kasalametan ngalangkungan leuweung, anjeunna ngarep-ngarep ajal datang, dipacok oray atawa dihakan sato galak. Tapi, sakitu mindeng pasarandog, boro-boro aya nu daek ngahakan, sakur sasatoan di eta leuweung, kalah paheula-heula nyalingkir. Teu daek deukeut-deukeut pedah henteu tegaeun, nempo waruga nu sakitu ruksakna, duka henteu kuat ngambeu Dewi Srangenge teh jog anjog ka sisi basisir kidul. Lalampahanana kandeg di dinya, kapegat laut upluk-aplak satungtung margi ngaraos kacida bingungna, ka mana nya kedah neraskeun laku, anjeunna liren handapeun tangkal kalapa, sakantenan niat ngareureuhkeun kacape. Dewi Srangenge nanghunjar dina kikisik, bari nyarande kana tangkal kalapa. Neuteup anteng ka tengah lali kana kasedih manahna. Angin laut lir nu ngusapan salirana, lami-lami ngaraos tunduh anu kacida. Reup bae kulem di dinya tibra Dewi Srangenge kulem, anjeunna ngimpen anu luar biasa, impenan sapertos anu enya-enya kajadian. Dina eta impenanana, anjeunna ditepangan ku hiji aki-aki. Eta aki-aki nganggo anggoan sing sarwa bodas. Ari kana rupina, asa henteu asing deui. Asa kungsi panggih, ngan duka di aki-aki pok sasauran, kieu cenah, “Deudeuh teuing incu Aki, nu geulis kedah ngalaman hirup sangsara. Ayeuna mah geura gugah, heg geura siram dina cai laut. Engke sagala rupana baris balik deui, balik ka sabihara-sabihari. Rengse siram ulah ka mana-mana, margi bakal aya satria nu ngajak nikah.”Tamat aki-aki sasauran, Dewi Srangenge gugah. Luak-lieuk teu aya sasaha. Iwal aya laut nu kacida legana. Ombakna siga nu ngagupayan, sangkan anjeunna enggal-enggal siram. “Anu bieu teh impian ilapat atawa riwan?” gerentes manah Dewi ahirna mah Dewi Srangenge henteu seueur deui anu diemutan, ku tina parantos pasrah tea kana kadarna. Gebrus bae ka laut, ibak kokojayan. Cai laut asin teh karaosna asa seger. Anehna unggal anjeunna ngusap raray, urut borok reujeung bisul, harita keneh langsung aki-aki henteu lepat, pameunteu nu geulis beresih deui. Sinarna moncorong deui sabihari kawas panonpoe kakara medal. Kantenan Dewi Srangenge pohara bingahna. Anjeunna ampir-ampiran teu percanten, kana kajadian nu sakitu matak siram kokojayan, lajeng ngeunteung kana beungeut cai, katingal rarayna ngagenclang herang. Malih raraosanana mah langkung geulis, langkung cahayaan ti nu parantos-parantos. Teu karaos tina socana bijil cisoca, mapay kana damisna anu limit, cisoca anu meDONGdal tina kabungah taya kana kasauran aki-aki dina impenan, anjeunna henteu ka mana-mana deui. Damelna ngantos kasumpingan satria, anu bade ngajak nikah tea. Dewi Srangenge percanten kana kasauranana, ku margi apan parantos aya buktosna. Pameunteuna anu tadina ruksak, ayeuna balik deui sapertos naha atuh nu diantos-antos teh henteu daek sumping bae. Anjeunna meh unggal dinten ngalangeu di sisi basisir bari neuteup ka tengah laut. Sangkaan anjeunna, moal henteu, satria teh sumpingna ti tengah laut. Lamun kana kapal laut, geuning taya celak-celakna acan. Atawa bisa jadi bijil ti jero dua dinten nepi ka saminggu, Dewi Srangenge masih tiasa nahan kasabaran. Saminggu, dua minggu, dugi ka sasasihna, sasasih, dua sasih, dugi ka sataunna, Dewi Srangenge seep kasabaranana. Lami-lami timbul bendu ngagugudug, margi asa dibohongan ku aki-aki, anu patepang dina impenan Srangenge penggas pangharepan, bendu dibarung kun genes ngangres. Tungtungna jleng bae luncat ka laut, maksadna bade luluasan, milih neuleumkeun maneh ka laut, nyebakeun salirana ka pengeusi laut, sukur-sukur mun dihakan ku lauk hiu, atawa diteureuy buleud ku lauk cai laut kalah nyalingray, kawas nu mere jalan ka Sang Dewi. Kitu deui sakabeuh pangeusina, rupa-rupa lauk nu gede nu leutik, daratang ngabageakeun. Tungtungna Dewi Srangenge teh diangkat jadi ratu di sagara kidul, katelah Nyai Ratu Roro anjeunna tetep panasaran, palay tepang sareng satria anu dijangjikeun dina impenan. Cai laut teras-terasan diubek, niatna milarian satria tea. Eta sababna pangna laut kidul kasohor galede ombakna. Lantaran hayoh wae diubek-ubek ku Nyi Roro Dongeng
1pBA.